Rabu, 18 November 2015

Sang Ajudan

Sejak pukul lima sore Febry sudah berdandan di depan cermin besar di dalam kamarnya. Putar sana putar sini. Sudah lima pasang baju dinas ajudan berupa baju safari dicobanya. Namun satupun tak ada yang berkenan di hatinya. Mula-mula baju safari warna hitam berlengan pendek dicobanya. "Ah, tak cocok!" katanya. Lalu dicobanya baju yang berlengan panjang. "Terlalu sempit," katanya.
Diambilnya lagi baju safari berwarna coklat berlengan panjang, juga tak berkenan di hatinya. Ganti lagi dengan baju berlengan pendek, ternyata kurang pantas menurutnya. Akhirnya dia memutuskan memakai baju berwarna putih lengan panjang dan memakai dasi berwarna biru. Setelah itu, dia berputar-putar lagi di depan cermin untuk merapikan rambutnya. Ada sekitar dua jam Febry berdandan di depan cermin. Bagaikan pangeran yang hendak kedatangan seorang permaisuri. Mungkin kalau cermin bisa bersuara, pasti dia mengatakan "Muaaaakkkk....."
Usai berdandan, Febry lantas mengerjakan shalat magrib. Untuk urusan yang satu ini, Febry patut diacungkan jempol walaupun shalatnya hanya cukup dikerjakan dalam tempo sesingkat-singkatnya, satu menit. Selesai shalat, dengan langkah terburu-buru dia pamitan kepada mamanya. "Ma, awak pergi dulu ya."
"Kemana," kata mamanya.
"Pak bupati malam ini akan menghadiri acara jamuan makan malam pak gubernur di rumah dinas," jawab Febry sambil mencium tangan mamanya.
"Hati-hati ya," ujar mamanya mengingatkan.
"Oke Ma." Febry langsung tancap gas dengan motor Honda Beat pinjamannya.
Febry memang baru bertugas selama satu bulan sebagai ajudan bupati. Sebagai seorang ajudan yang baru, Febry tentu tak ingin mengecewakan Bapak Bupati baik dari segi disiplin waktu, sikap dan juga soal gaya penampilan.
Jarak rumah Febry dengan rumah Pak Bupati memang tak begitu jauh. Dalam tempo sepuluh menit Febry sudah sampai di rumah Pak Bupati. Setelah memarkirkan motornya di garasi, Febry langsung menghadap Pak Bupati. "Bagaimana Pak, sudah siap?" tanya Febry.
"Sudah. Mari kita berangkat," jawab Pak Bupati.
Febry pun bergegas memanggil supir untuk segera menyiapkan mobil. Setelah mobil berada di depan rumah, Febry langsung membukakan pintu dan mempersilakan Pak Bupati serta istrinya untuk naik ke atas mobil. Baru setelah itu Febry naik dan duduk di samping supir.
Selama dalam perjalan ke rumah dinas Pak Gubernur, tak ada percakapan yang berarti antara Febry sebagai ajudan dengan Pak Bupati. Febry lebih banyak memilih diam dan duduk dalam posisi sigap di jok depan. Namun pikirannya menerawang membayangkan suasana acara jamuan makan malam di rumah dinas Pak Gubernur. "Hmm... aku bakal makan enak nanti. Dan di sana nanti pasti banyak perempuan-perempuan cantik," gumamnya dalam hati.
"Dan nanti aku akan ...." Tiba-tiba sang supir menghentakkan lamunannya.
"Bang, kita sudah sampai," bisik sang supir.
"O ya," kata Febry sambil bergegas turun dan membukakan pintu belakang mobil.
Suasana acara jamuan makan malam di rumah dinas Pak Gubernur memang begitu meriah. Para tamu yang datang pun bukan orang sembarangan. Mereka adalah para pejabat teras mulai dari tingkat kotamadya, kabupaten, hingga provinsi. Rata-rata mereka datang dengan membawa istri. Tak ketinggalan juga hadir para anggota DPR, para tokoh partai, tokoh pemuda dan tokoh agama. Terlihat juga hadir para pengusaha papan atas yang datang dengan mobil mewahnya.
Para tamu tersebut dipersilakan masuk dan diarahkan menuju ruang tengah rumah dinas yang cukup luas. Di sana telah terhidang aneka jenis masakan dan minuman yang cukup membuat jakun Febry naik turun. "Waaahhh.... masakannya pasti enak-enak nih," ujar Febry dalam hati. Dia pun rasanya sudah tak sabar lagi untuk segera mencicipi aneka jenis hidangan tersebut.
Tak lama, Pak Gubernur pun muncul didampingi sang istri. Dan protokol langsung membuka acara jamuan makan malam tersebut. Sebelum Pak Gubernur memberikan kata sambutan, acara diawali dengan pagelaran tari persembahan yang dibawakan lima dara cantik. Mata Febry tak berkedip memandangi kelima gadis cantik yang membawakan tarian tersebut dengan gemah gemulai. Angan-angannya pun muncul. “Seandainya aku punya cewek cantik seperti mereka, pasti mama dan papaku setuju," khayalnya.
Selesai acara tari persembahan, Pak Gubernur lantas memberikan kata sambutan kemudian dilanjutkan dengan acara ramah tamah dan jamuan makan. "Ini yang ku tunggu-tunggu," kata Febry yang langsung mengambil piring dan memilih jenis hidangan yang sudah diincar-incarnya dari awal. Dengan piring yang penuh nasi ditambah beberapa jenis hidangan lainnya, Febry lantas mengambil posisi di pojok ruangan.
"Ini baru pergantian gizi namanya," ujar Febry dan langsung menyantap makanannya. Begitupun matanya tetap jelalatan melihat seisi ruangan kalau-kalau ada perempuan cantik yang bisa diajaknya berkenalan dan ngobrol.
Betul saja. Tiba-tiba mata Febry tertuju kepada seorang perempuan cantik mengenakan kebaya warna biru tengah berdiri seorang diri di pojok ruangan. Wajah Febry langsung sumringah dan buru-buru dia menghabiskan makanannya. Kemudian Febry mengambil dua gelas minuman dan melangkah menuju ke arah perempuan berkebaya biru tersebut.
"Hai... boleh saya menemani," ujar Febry kepada perempuan itu sambil menyodorkan sebuah gelas berisi minuman jus.
"Boleh," jawab perempuan itu lembut.
"Alamak, cantik dan lembut sekali perempuan ini," kata Febry dalam hati.
"Kenalkan, nama saya Febry. Ajudan Pak Bupati." Febry menyodorkan tangannya untuk berkenalan.
Perempuan itu menyambut sodoran tangan Febry. "Nama saya Indah."
"Kamu datang sendiri," tanya Febry.
"Nggak. Saya datang sama papa dan mama. Papa saya ketua DPR," jawab perempuan itu.
"Oh, saya kira kamu datang dengan cowoknya," tanya Febry ingin menyelidiki status perempuan itu.
"Saya belum ada cowok. Saya masih kuliah semester satu," aku perempuan itu dengan sedikit tersipu-sipu.
Melihat peluang emas di depan mata, Febry mulai meningkatkan rayuan gombalnya.
"Saya gak yakin. Masak perempuan secantik kamu belum punya cowok," rayu Febry.
"Benar. Saya belum......" Belum usai perempuan itu memberikan jawabannya, tiba-tiba Febry merasakan tubuhnya oleng dan "bruuukkk...." tubuh Febry jatuh. Tak lama Febry tersadar dan begitu dia membuka mata ternyata dia ada di dalam kamar.
"Bah, ternyata aku mimpi," katanya dalam hati.

"Busyeeeeettttt......." 

Selamat Jalan Sahabatku

"Teng...teng....teng....." Suara bel telah berbunyi menandakan jam istirahat. Saat aku berjalan menuju luar kelas. Tiba-tiba "Hai, tunggu...!" ucap seorang lelaki yang telah memanggilku.
"Maaf, kamu siapa?" tanyaku sedikit heran.
"O ya, kenali namaku Devan," kata lelaki yang berada di depanku itu sambil menjabat tanganku.
"Kalau nama kamu siapa?" tanya laki-laki itu padaku.
"Nama aku Citra," jawabku singkat.
"Kamu mau kemana?" tanyanya padaku.
"Kantin," jawabku singkat lagi.
"Kalau gitu sama dong, bareng sama aku aja. Kebetulan aku sendiri nih!" katanya sambil tersenyum.
"Ya...ya.. udah," jawabku ragu-ragu.
Aku pun berbincang-bincang dengannya sambil menuju kantin mencari makanan, karena cacing di perutku sudah mengamuk.
Tak terasa 15 menit pun berlalu dan bel pun telah berbunyi menandakan jam istirahat usai.
"Eh, Devan, aku masuk ke kelas duluan ya," ucapku sambil masuk ke ruang kelasku.
"Oke deh, Citra."
Sejak pertemuan itu, aku dan Devan mulai bersahabat. Kami bertemu tanpa sengaja mencoba akrab satu sama lain, saling mengerti dan menjalani hari-hari penuh makna. Persahabatan dengan jarak yang begitu dekat itu membuat kami semakin mengenal pentingnya hubungan ini. Tak lama kemudian, aku harus pergi meninggalkannya.
Sesungguhnya hatiku sangat berat untuk ini. Tapi apa boleh buat. Pertemuan terakhirku berlangsung sangat haru. Tatapan penuh canda itu mulai sirna dibalut duka mendalam.
"Van, maafkan aku atas semua kesalahan yang pernah aku lakukan, ya," kataku saat dia berdiri pas di depanku.
"Kamu gak pernah salah, Citra. Semua yang udah kamu lakukan buat aku itu lebih dari cukup."
"Please, tolong jangan lupain aku, Van."
"Ok. Kamu gak usah khawatir."
Sesaat kemudian mobilku melaju perlahan meninggalkan sesosok makhluk manis itu.
Sejak kami berpisah, Devan masih tetap menghubungi aku. Walaupun jarak yang telah memisahkan kami, tetapi persahabatan kami tidak akan pernah putus.
Di malam yang gelap ini aku terus memikirkannya. Mengingat semua canda tawa yang pernah kami lalui dan mengingat pertama kali berkenalan. Aku sedih jika mengingat hal itu. Sampai-sampai aku meneteskan air mata. Entah kenapa aku menganggap Devan tidak hanya sekadar seorang sahabat, tapi aku menganggapnya sudah seperti hubungan antara kakak dengan adik. Dia selalu menjahilin aku dan suka membuat aku marah.

--- Lima Tahun Kemudian ---

Tidak terasa sudah cukup lama aku berpisah dengan sahabatku, Devan. Dan hari ini, aku akan menghubunginya dan mengatakan bahwa besok aku akan pulang tepat di hari ulang tahunku, dan Devan pun akan menjemputku di Bandara.
Keesokan harinya, aku tiba di Bandara pukul 10:45 WIB. Aku harap Devan sudah menjemputku. "Tapi, kok belum kelihatan ya batang hidungnya? Apa dia masih dalam perjalanan?" kataku dalam hati.
"Ah, tapi ya sudahlah. Aku bakal tetap menunggunya sampai dia datang," aku mencoba menghibur diriku sendiri.
Tapi sudah empat jam aku menunggu, namun Devan belum juga nongol. "Devan kemana sih? Kok sampai sekarang belum datang," gumamku dalam hati sambil melihat arloji di tanganku.
Aku sudah menghubunginya lebih dari 30 kali, tapi nomornya tidak aktif. Perasaanku jadi gak enak. "Apa jangan-jangan Devan udah punya sahabat baru dan melupakan aku sahabat lamanya?" hatiku mulai meragukan kesetiaan Devan.
Karena sudah terlalu menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk menyerah menunggui Devan di Bandara. Aku akhirnya pergi dengan menumpang taksi.
Di perjalanan, sang supir taksi bercerita kepadaku bahwa ada seorang lelaki muda mengalami kecelakaan ketika hendak menjemput seseorang di Bandara. Laki-laki itu katanya meninggal dunia di tempat. Dan kata supir taksi itu, laki-laki naas itu membawa sebingkis kado dan seikat bunga mawar. Aku langsung berpikir ke Devan.  Perasaanku semakin tidak enak. Aku langsung menghubungi nomor Devan. Tetapi masih seperti tadi, tidak aktif.
"Pak, kita ke rumah teman saya aja ya ke Jalan Merpati," kataku kepada supir taksi.
"Baik nak."
Sesampai di rumah Devan, aku melihat ada bendera warna kuning dan di depan rumahnya sudah tertata kursi dan tenda. "Ada apa ini? Kenapa begitu banyak orang di rumah Devan?" kataku sedikit heran.
Tiba-tiba "Citra..." Raka sahabat Devan memanggilku.
"Raka, kenapa kamu ada di sini. Devan mana?" tanyaku.
"Devan... Cit... Devan..." Raka menangis tanpa mampu meneruskan kata-katanya.
"Devan kenapa? Ada apa dengannya?" aku semakin penasaran.
"Devan meninggal dunia karena kecelakaan ketika hendak menjemputmu di Bandara," jawab Raka.
"A...a...apa? Devan meninggal?" tanyaku setengah tak percaya. Dan airmataku tia-tiba menetes.
"Dan ini adalah kado dan bunga mawar yang ingin diberian Devan kepadamu. Kamu tetap sabar ya Cit," ujar Raka sambil menepuk-nepuk bahuku.
Aku langsung membuka kado tersebut dan ternyata isinya sebuah boneka Teddy Bear dan terselip secarik kertas di situ.
"Selamat ulang tahun buat sahabat manisku. Maafkan aku karena tak bisa menjemputmu di Bandara. Tapi aku yakin kita pasti bakal bertemu di atas sana. Engkau adalah sahabat terbaikku. Bagaikan permata intan indah berkilau dan cahayanya bersinar. I miss u so much my best friend."
Usai membaca surat itu aku langsung memeluk erat boneka pemberian Devan. Aku tak menduga Devan telah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Setelah kepergian Devan, hari-hari yang ku jalani terasa sunyi.
"Selamat jalan sahabatku. Terima kasih telah ingin menjadi sahabat terbaikku."

***