"Teng...teng....teng....."
Suara bel telah berbunyi menandakan jam istirahat. Saat aku berjalan menuju
luar kelas. Tiba-tiba "Hai, tunggu...!" ucap seorang lelaki yang
telah memanggilku.
"Maaf,
kamu siapa?" tanyaku sedikit heran.
"O
ya, kenali namaku Devan," kata lelaki yang berada di depanku itu sambil
menjabat tanganku.
"Kalau
nama kamu siapa?" tanya laki-laki itu padaku.
"Nama
aku Citra," jawabku singkat.
"Kamu
mau kemana?" tanyanya padaku.
"Kantin,"
jawabku singkat lagi.
"Kalau
gitu sama dong, bareng sama aku aja. Kebetulan aku sendiri nih!" katanya
sambil tersenyum.
"Ya...ya..
udah," jawabku ragu-ragu.
Aku
pun berbincang-bincang dengannya sambil menuju kantin mencari makanan, karena
cacing di perutku sudah mengamuk.
Tak
terasa 15 menit pun berlalu dan bel pun telah berbunyi menandakan jam istirahat
usai.
"Eh,
Devan, aku masuk ke kelas duluan ya," ucapku sambil masuk ke ruang
kelasku.
"Oke
deh, Citra."
Sejak
pertemuan itu, aku dan Devan mulai bersahabat. Kami bertemu tanpa sengaja
mencoba akrab satu sama lain, saling mengerti dan menjalani hari-hari penuh
makna. Persahabatan dengan jarak yang begitu dekat itu membuat kami semakin
mengenal pentingnya hubungan ini. Tak lama kemudian, aku harus pergi meninggalkannya.
Sesungguhnya
hatiku sangat berat untuk ini. Tapi apa boleh buat. Pertemuan terakhirku
berlangsung sangat haru. Tatapan penuh canda itu mulai sirna dibalut duka
mendalam.
"Van,
maafkan aku atas semua kesalahan yang pernah aku lakukan, ya," kataku saat
dia berdiri pas di depanku.
"Kamu
gak pernah salah, Citra. Semua yang udah kamu lakukan buat aku itu lebih dari
cukup."
"Please,
tolong jangan lupain aku, Van."
"Ok.
Kamu gak usah khawatir."
Sesaat
kemudian mobilku melaju perlahan meninggalkan sesosok makhluk manis itu.
Sejak
kami berpisah, Devan masih tetap menghubungi aku. Walaupun jarak yang telah
memisahkan kami, tetapi persahabatan kami tidak akan pernah putus.
Di
malam yang gelap ini aku terus memikirkannya. Mengingat semua canda tawa yang pernah
kami lalui dan mengingat pertama kali berkenalan. Aku sedih jika mengingat hal
itu. Sampai-sampai aku meneteskan air mata. Entah kenapa aku menganggap Devan
tidak hanya sekadar seorang sahabat, tapi aku menganggapnya sudah seperti
hubungan antara kakak dengan adik. Dia selalu menjahilin aku dan suka membuat
aku marah.
--- Lima Tahun
Kemudian ---
Tidak
terasa sudah cukup lama aku berpisah dengan sahabatku, Devan. Dan hari ini, aku
akan menghubunginya dan mengatakan bahwa besok aku akan pulang tepat di hari
ulang tahunku, dan Devan pun akan menjemputku di Bandara.
Keesokan
harinya, aku tiba di Bandara pukul 10:45 WIB. Aku harap Devan sudah
menjemputku. "Tapi, kok belum kelihatan ya batang hidungnya? Apa dia masih
dalam perjalanan?" kataku dalam hati.
"Ah,
tapi ya sudahlah. Aku bakal tetap menunggunya sampai dia datang," aku
mencoba menghibur diriku sendiri.
Tapi
sudah empat jam aku menunggu, namun Devan belum juga nongol. "Devan kemana
sih? Kok sampai sekarang belum datang," gumamku dalam hati sambil melihat
arloji di tanganku.
Aku
sudah menghubunginya lebih dari 30 kali, tapi nomornya tidak aktif. Perasaanku
jadi gak enak. "Apa jangan-jangan Devan udah punya sahabat baru dan
melupakan aku sahabat lamanya?" hatiku mulai meragukan kesetiaan Devan.
Karena
sudah terlalu menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk menyerah menunggui Devan
di Bandara. Aku akhirnya pergi dengan menumpang taksi.
Di
perjalanan, sang supir taksi bercerita kepadaku bahwa ada seorang lelaki muda
mengalami kecelakaan ketika hendak menjemput seseorang di Bandara. Laki-laki
itu katanya meninggal dunia di tempat. Dan kata supir taksi itu, laki-laki naas
itu membawa sebingkis kado dan seikat bunga mawar. Aku langsung berpikir ke
Devan. Perasaanku semakin tidak enak.
Aku langsung menghubungi nomor Devan. Tetapi masih seperti tadi, tidak aktif.
"Pak,
kita ke rumah teman saya aja ya ke Jalan Merpati," kataku kepada supir
taksi.
"Baik
nak."
Sesampai
di rumah Devan, aku melihat ada bendera warna kuning dan di depan rumahnya
sudah tertata kursi dan tenda. "Ada apa ini? Kenapa begitu banyak orang di
rumah Devan?" kataku sedikit heran.
Tiba-tiba
"Citra..." Raka sahabat Devan memanggilku.
"Raka,
kenapa kamu ada di sini. Devan mana?" tanyaku.
"Devan...
Cit... Devan..." Raka menangis tanpa mampu meneruskan kata-katanya.
"Devan
kenapa? Ada apa dengannya?" aku semakin penasaran.
"Devan
meninggal dunia karena kecelakaan ketika hendak menjemputmu di Bandara,"
jawab Raka.
"A...a...apa?
Devan meninggal?" tanyaku setengah tak percaya. Dan airmataku tia-tiba menetes.
"Dan
ini adalah kado dan bunga mawar yang ingin diberian Devan kepadamu. Kamu tetap
sabar ya Cit," ujar Raka sambil menepuk-nepuk bahuku.
Aku
langsung membuka kado tersebut dan ternyata isinya sebuah boneka Teddy Bear dan
terselip secarik kertas di situ.
"Selamat
ulang tahun buat sahabat manisku. Maafkan aku karena tak bisa menjemputmu di
Bandara. Tapi aku yakin kita pasti bakal bertemu di atas sana. Engkau adalah
sahabat terbaikku. Bagaikan permata intan indah berkilau dan cahayanya
bersinar. I miss u so much my best friend."
Usai
membaca surat itu aku langsung memeluk erat boneka pemberian Devan. Aku tak
menduga Devan telah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Setelah
kepergian Devan, hari-hari yang ku jalani terasa sunyi.
"Selamat
jalan sahabatku. Terima kasih telah ingin menjadi sahabat terbaikku."
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar