Rabu, 18 November 2015

Selamat Jalan Sahabatku

"Teng...teng....teng....." Suara bel telah berbunyi menandakan jam istirahat. Saat aku berjalan menuju luar kelas. Tiba-tiba "Hai, tunggu...!" ucap seorang lelaki yang telah memanggilku.
"Maaf, kamu siapa?" tanyaku sedikit heran.
"O ya, kenali namaku Devan," kata lelaki yang berada di depanku itu sambil menjabat tanganku.
"Kalau nama kamu siapa?" tanya laki-laki itu padaku.
"Nama aku Citra," jawabku singkat.
"Kamu mau kemana?" tanyanya padaku.
"Kantin," jawabku singkat lagi.
"Kalau gitu sama dong, bareng sama aku aja. Kebetulan aku sendiri nih!" katanya sambil tersenyum.
"Ya...ya.. udah," jawabku ragu-ragu.
Aku pun berbincang-bincang dengannya sambil menuju kantin mencari makanan, karena cacing di perutku sudah mengamuk.
Tak terasa 15 menit pun berlalu dan bel pun telah berbunyi menandakan jam istirahat usai.
"Eh, Devan, aku masuk ke kelas duluan ya," ucapku sambil masuk ke ruang kelasku.
"Oke deh, Citra."
Sejak pertemuan itu, aku dan Devan mulai bersahabat. Kami bertemu tanpa sengaja mencoba akrab satu sama lain, saling mengerti dan menjalani hari-hari penuh makna. Persahabatan dengan jarak yang begitu dekat itu membuat kami semakin mengenal pentingnya hubungan ini. Tak lama kemudian, aku harus pergi meninggalkannya.
Sesungguhnya hatiku sangat berat untuk ini. Tapi apa boleh buat. Pertemuan terakhirku berlangsung sangat haru. Tatapan penuh canda itu mulai sirna dibalut duka mendalam.
"Van, maafkan aku atas semua kesalahan yang pernah aku lakukan, ya," kataku saat dia berdiri pas di depanku.
"Kamu gak pernah salah, Citra. Semua yang udah kamu lakukan buat aku itu lebih dari cukup."
"Please, tolong jangan lupain aku, Van."
"Ok. Kamu gak usah khawatir."
Sesaat kemudian mobilku melaju perlahan meninggalkan sesosok makhluk manis itu.
Sejak kami berpisah, Devan masih tetap menghubungi aku. Walaupun jarak yang telah memisahkan kami, tetapi persahabatan kami tidak akan pernah putus.
Di malam yang gelap ini aku terus memikirkannya. Mengingat semua canda tawa yang pernah kami lalui dan mengingat pertama kali berkenalan. Aku sedih jika mengingat hal itu. Sampai-sampai aku meneteskan air mata. Entah kenapa aku menganggap Devan tidak hanya sekadar seorang sahabat, tapi aku menganggapnya sudah seperti hubungan antara kakak dengan adik. Dia selalu menjahilin aku dan suka membuat aku marah.

--- Lima Tahun Kemudian ---

Tidak terasa sudah cukup lama aku berpisah dengan sahabatku, Devan. Dan hari ini, aku akan menghubunginya dan mengatakan bahwa besok aku akan pulang tepat di hari ulang tahunku, dan Devan pun akan menjemputku di Bandara.
Keesokan harinya, aku tiba di Bandara pukul 10:45 WIB. Aku harap Devan sudah menjemputku. "Tapi, kok belum kelihatan ya batang hidungnya? Apa dia masih dalam perjalanan?" kataku dalam hati.
"Ah, tapi ya sudahlah. Aku bakal tetap menunggunya sampai dia datang," aku mencoba menghibur diriku sendiri.
Tapi sudah empat jam aku menunggu, namun Devan belum juga nongol. "Devan kemana sih? Kok sampai sekarang belum datang," gumamku dalam hati sambil melihat arloji di tanganku.
Aku sudah menghubunginya lebih dari 30 kali, tapi nomornya tidak aktif. Perasaanku jadi gak enak. "Apa jangan-jangan Devan udah punya sahabat baru dan melupakan aku sahabat lamanya?" hatiku mulai meragukan kesetiaan Devan.
Karena sudah terlalu menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk menyerah menunggui Devan di Bandara. Aku akhirnya pergi dengan menumpang taksi.
Di perjalanan, sang supir taksi bercerita kepadaku bahwa ada seorang lelaki muda mengalami kecelakaan ketika hendak menjemput seseorang di Bandara. Laki-laki itu katanya meninggal dunia di tempat. Dan kata supir taksi itu, laki-laki naas itu membawa sebingkis kado dan seikat bunga mawar. Aku langsung berpikir ke Devan.  Perasaanku semakin tidak enak. Aku langsung menghubungi nomor Devan. Tetapi masih seperti tadi, tidak aktif.
"Pak, kita ke rumah teman saya aja ya ke Jalan Merpati," kataku kepada supir taksi.
"Baik nak."
Sesampai di rumah Devan, aku melihat ada bendera warna kuning dan di depan rumahnya sudah tertata kursi dan tenda. "Ada apa ini? Kenapa begitu banyak orang di rumah Devan?" kataku sedikit heran.
Tiba-tiba "Citra..." Raka sahabat Devan memanggilku.
"Raka, kenapa kamu ada di sini. Devan mana?" tanyaku.
"Devan... Cit... Devan..." Raka menangis tanpa mampu meneruskan kata-katanya.
"Devan kenapa? Ada apa dengannya?" aku semakin penasaran.
"Devan meninggal dunia karena kecelakaan ketika hendak menjemputmu di Bandara," jawab Raka.
"A...a...apa? Devan meninggal?" tanyaku setengah tak percaya. Dan airmataku tia-tiba menetes.
"Dan ini adalah kado dan bunga mawar yang ingin diberian Devan kepadamu. Kamu tetap sabar ya Cit," ujar Raka sambil menepuk-nepuk bahuku.
Aku langsung membuka kado tersebut dan ternyata isinya sebuah boneka Teddy Bear dan terselip secarik kertas di situ.
"Selamat ulang tahun buat sahabat manisku. Maafkan aku karena tak bisa menjemputmu di Bandara. Tapi aku yakin kita pasti bakal bertemu di atas sana. Engkau adalah sahabat terbaikku. Bagaikan permata intan indah berkilau dan cahayanya bersinar. I miss u so much my best friend."
Usai membaca surat itu aku langsung memeluk erat boneka pemberian Devan. Aku tak menduga Devan telah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Setelah kepergian Devan, hari-hari yang ku jalani terasa sunyi.
"Selamat jalan sahabatku. Terima kasih telah ingin menjadi sahabat terbaikku."

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar