Sabtu, 28 Februari 2015

Candi Tanjung Medan

Tak disangka ternyata bumi Pasaman menyimpan banyak potensi wisata yang bisa digali dan dikembangkan. Selain punya Taman Wisata Alam Rimbo Panti yang menyediakan sumber air panas, Museum Tuanku Imam Bonjol, Monumen Equator, ternyata Pasaman masih punya objek wisata lain yang belum terpromosikan secara luas. Yakni Candi Tanjung Medan.

Candi Tanjung Medan adalah sebuah situs purbakala yang terletak di Dusun Tanjung Medan, Kecamatan Panti, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Situs ini sudah lama diketahui keberadaannya oleh masyarakat sekitar, namun baru sekitar tahun 1990-an mulai pemugaran candi oleh pemerintah.



Menurut perkiraan, candi ini adalah peninggalan kebudayaan Hindu atau Budha. Hal ini dikuatkan dengan penamaan tempat di mana candi itu berada yang disebut Biaro (biara, vihara). Penduduk sekitar candi saat ini semuanya beragama Islam dan tidak mengetahui sejarah candi ini. Kemungkinan pendiri candi ini pernah menetap di sana untuk beberapa waktu sebelum akhirnya punah atau pergi meninggalkan kampung itu, karena suatu sebab yang tidak diketahui. Beberapa waktu setelah ditinggalkan barulah datang leluhur penduduk yang ada sekarang.

Terdapat dua bangunan candi yang terbuat dari batu bata dengan ukuran batanya yang relatif lebih besar daripada ukuran bata yang biasa dipakai masyarakat sekarang. Kedua bangunan yang mirip altar pemujaan itu sekarang sudah direkonstruksi dan diberi atap karena batu bata yang asli sudah banyak yang hancur. Areal sekitar candi juga sudah dipagar dengan baik.

Pengunjung yang ingin melihat candi ini dapat dengan mudah menjangkau lokasinya karena letaknya yang cukup dekat dari jalan raya Padang - Medan. Anda dapat berhenti di kilometer (km) 189 dari Padang, atau km 98 dari Bukit Tinggi, atau km 80 dari Kotanopan (sesuai yang tertulis pada tonggak kilometer terdekat). Bila anda sudah menemukan tonggak kilometer tersebut, berjalanlah kira-kira 200 meter lagi ke arah utara, dan di sebelah kanan akan terlihat sebuah persimpangan jalan tanah (tepatnya 20 meter sebelum jembatan). Ikuti jalan tanah tersebut ke arah timur dan kira-kira 200 meter anda akan bertemu saluran irigasi Panti-Rao. Nah, di seberang saluran irigasi tersebut sudah langsung disambut oleh pagar lokasi candi.

Menilik dari letak candi yang berada di pinggir Batang Sumpur, yang mengalir ke Propinsi Riau (di sana namanya berubah menjadi Sungai Rokan dan bermuara di pantai timur Sumatera) maka diperkirakan pendiri Candi Tanjung Medan datang dari daerah hilir sungai Rokan sebagaimana juga nenek-moyang orang Minangkabau yang juga diperkirakan mengikuti aliran sungai dari pantai timur Sumatera. Salahsatu bukti hal ini adalah terdapatnya kesamaan nama beberapa tempat yang ada di Kecamatan Panti dan daerah Ujung Batu (Riau), seperti Tanjung Medan, Rambah, Tambangan, dan Sontang.

Menurut sejarahnya, candi Tanjung Medan sudah ditemukan oleh gubernur pantai barat Sumatera (governeur van Sumatra’s weskust) pada 1866 masehi.
 
Dalam penelitiannya, disebutkan ditemukan gundukan bata yang diduga bentuknya seperti menara. Laporan yang dibuatnya itu disertai analisis pertanggalan yang dilakukan oleh FDK Bosch terhadap inskripsi-inskripsi pendek yang diguratkan pada lembaran emas berbentuk kelopak bunga teratai. Lembaran emas ini ditemukan di atas gundukan bata itu. Kelopak bunga melambangkan mandala yang berlatar agama Budha. Sedangkan nama dewa yang terdapat pada inskripsi ini adalah dewa penguasa mata angin timur dan barat, dewa utamanya adalah Akshobya.

Candi Tanjung Medan, meski tidak diketahui sejarah pastinya, namun ada kemungkinan berhubungan dengan tiga lokasi penemuan situs sejarah lainnya. Yaitu, Prasasti Kubu Sutan di Jorong VIII Nagari Kenagarian Lubuk Layang Kecamatan Rao Selatan, Arca Dwarapala di Jorong Padang Nunang Kenagarian Lubuk Layang Kecamatan Rao, dan kuburan Sangkar Bulan di Sungai Pandahanan.

Jumat, 27 Februari 2015

Museum Tuanku Imam Bonjol dan Tugu Equator

Selama 68 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir mengisi buku buku pelajaran sejarah dan diabadikan pada ruang-ruang publik di negeri ini, sebagai nama jalan, universitas, stadion, bahkan pada lembaran 5.000 rupiah keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.

Beliau adalah pemimpin paling terkenal dalam gerakan dakwah di Sumatera, yang pada mulanya menentang perjudian, laga ayam, penyalahggunaan dadah, minuman keras, dan tembakau. Tetapi kemudian mengadakan penentangan terhadap penjajahan Belanda yang memiliki semboyan Gold, Glory, Gospel sehingga mengakibatkan perang Padri (1821-1837).

Imam Bonjol bernama asli Muhammad Shahab, lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat pada 1772. Beliau merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Nama Imam Bonjol didapat dari tanah kelahirannya yang didaulat sebagai pemimpin di daerah itu.

Untuk mengenang kisah heroiknya, di daerah ini berdiri sebuah Museum Tuanku Imam Bonjol yang menyimpan peninggalan sejarah, terutama alat-alat serta barang yang pernah digunakan Imam Bonjol dan kaumnya. Museum berdiri berdampingan dengan Tugu Equator sebagai penanda bahwa di lokasi ini tepat dilalui garis khatulistiwa.

Taman mengitari kawasan equator dan Museum sehingga lokasi ini menjadi salah satu favorit warga untuk rekreasi. Selain untuk bersantai tentu tujuan utama para wisatawan adalah menyelami sejarah perjuangan Tuanku Imam Bonjol yang terangkum dalam museum. Keberadaan museum ini merupakan suatu kebanggaan rakyat Sumatera Barat pada umumnya dan masyarakat Kabupaten Pasaman khususnya untuk mengenang jasa pahlawan.

Museum memiliki bangunan dua lantai. Pada lantai pertama kita bisa mempelajari kisah perjuangan dan silsilah Tuanku Imam Bonjol yang merupakan keturunan dari para ulama di Sumatera Barat. Pada ruang tengah terdapat dua tangga kiri dan kanan.

Ini sengaja dibuat supaya pengunjung dapat mengelilingi semua museum secara keseluruhan. Jika pengunjung naik dari tangga sebelah kanan, makanya ketika turun akan menggunakan tangga sebelah kiri. Pada lantai dua menyimpan berbagai benda peninggalan masa Tuanku Imam Bonjol.

Berbagai senjata tradisional, yakni senapan, pistol, meriam, tombak dan pedang. Sayangnya pedang-pedang di sini hanya replika, lantaran pedang asli yang pernah digunakan pahlawan nasional itu telah hilang dicuri.

Untuk menjaga agar museum tidak tampak kosong, koleksi dilengkapi berbagai benda sejarah lain, seperti keramik, beragam gerabah, gong, bahkan kostum atau pakaian kebesaran ulama. Ada juga beberapa uang kertas lama yang dipajang pada etalase khusus dan beberapa naskah kuno.

Sayangnya identifikasi dan penelusuran informasi seputar barang-barang koleksi museum ini memudar. Akibatnya, petugas museum sendiri tidak bisa memberikan keterangan yang jelas seputar barang koleksi kepada pengunjung, mana yang asli dan mana yang terkait dengan perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Pengunjung hanya bisa mereka-reka sendiri.

Dengan areal seluas 2,5 hektar, kebanyakan anak-anak sekolah menjadi pengunjung utama yang paling sering ke museum. Kunjungan melonjak saat libur sekolah atau libur nasional. Disamping itu ada juga pelintas jalan Sumatera Barat-Sumatera Utara yang mampir ke museum.

Jalan-jalan ke Museum Tuanku Imam Bonjol, anda menemukan tiga nilai yang tinggi. Pertama, Museum Tuanku Imam Bonjol yang menyimpan rekam sejarah perjuangan pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol. Kedua, equator merupakan perlintasan khatulistiwa yang ditandai miniatur bola dunia yang memiliki wujud tanpa bayangan. Ketiga, keindahan alam di sekitar.

Nilai jual yang tinggi objek wisata ini, didukung akses transfortasi yang lancar dan mudah dijangkau serta adanya lokasi-lokasi wisata budaya dan alam yang bisa dipadukan. Seperti adanya benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol, sumber air panas alamiah sekitar 2 km dari museum.

Museum Tuanku Imam Bonjol satu lokasi dengan lokasi titik kulminasi atau disebut dengan equator. Ketika anda sampai di lokasi di Nagari Ganggo Mudiak Kecamatan Bonjol, di tepi jalan lintas Bukittinggi- Sumatera Utara, tertulis "You Are Crossing The Equator" (Anda Melintasi Khatulistiwa).

 
The Equator dilengkapi dengan tugu miniatur bola dunia, jembatan perlintasan jalan, dan goa dunia. Jembatan perlintasan ini lurus menuju gerbang museum. Sebelum sampai di museum, ada tugu pahwalan Tuanku Imam Bonjol sedang menunggangi kuda.

Namun sayang, taman yang memiliki nama cetar membahana itu namun sudah mati warna. Taman yang luas namun sepi pengunjung, museum yang gagah namun nuansa ghaibnya tinggi. Museum berlantai dua itu gelap, lukisan perjuangan Peto Syarif menghiasi dinding-dinding. Senjata golok panjang, tongkat pedang, keris, dan tombak terpajang di peti-peti kaca.

Tidak satupun lampu yang hidup, museum yang serba hitam itu, cat dinding cokelat kehitaman, kaca gelap kehitaman, ruangan tak pakai lampu juga gelap kehitaman, lukisan lama juga ada nuansa hitam, dan alat-alat peninggalan seperti keris, golok, meriam, ladiang panjang, dan tombak, semuanya masih warna lama yang punya corak warna hitamnya. Menyontak perasaan takut pengunjung, kalau-kalau kesurupan di lokasi.

Kondisi ini menggelitik di benak semua orang yang pernah berkunjung ke tempat ini. Pasaman yang sepi objek wisata, tetapi pengunjung objek wisata pun sepi. Apakah minat wisata masyarakat yang tidak ada, bagaimana membangkitkannya. Atau, tempat wisatanya yang tidak bernilai jual.

Pihak Dinas Budparpora pun ingin mengelola wisata tersebut secara profesional. Bahkan mereka sudah mengusulkan pembangunan wisata tersebut. Pada 2015 segera dibangun wisata pendidikan di Bonjol.

Objek wisata yang representative, perlu memikirkan kelengkapan akomodasi dan paket wisata. Misalkan paket wisata, banyak situs-situs sejarah di Pasaman. Kalau dibuat miniaturnya di lokasi yang luas di bonjol itu maka pengunjung yang tidak sempat mengunjungi yang asli, mereka sudah cukup menyaksikan tiruannya saja.

Kemudian, akomodasi berupa penginapan sederhana jika tidak bisa yang eksklusif. Kemudian untuk oleh-oleh, bisa diberdayakan kelompok UKM sebagai penyedia makanan khas pasaman dan pengrajin untuk membuat miniatur patung Tuanku Imam Bonjol berkuda.

Semua itu tidak sederhana dan semudah itu. Perlu keseriusan leading sektor pariwisata untuk menggenjotnya. Koordinasi dengan sektor UKM juga sangat penting. Jika memang untuk pengembangan tidak bisa lepas dari dukungan investor, itulah tujuan utama dinas pariwisata saat kunjungan kerja ke provinsi yang telah maju wisatanya. Mempelajari konsep mereka yang lebih dahulu maju dan mengaplikasikan di daerah dia berdinas.































Taman Wisata Alam Rimbo Panti


Salahsatu objek wisata yang terkenal di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, adalah Taman Wisata Alam (TWA) Rimbo Panti. Nama Rimbo Panti, berasal dari kata 'rimbo' yang berarti 'rimba' dalam Bahasa Indonesia, dan Panti adalah tempat terdapatnya obyek wisata ini, yaitu di Kecamatan Panti. Di tempat seluas 570 hektar ini selain tersimpan berbagai spesies tanaman, bahkan yang langka, tempat ini juga menjadi habitat bagi beberapa binatang langka dan dilindungi seperti, beberapa ratus jenis burung, tapir, rusa, kambing hutan, monyet siamang dan beberapa hewan buas seperti Harimau Sumatera, macan tutul, hingga beruang madu.

Selain menyimpan koleksi berbagai jenis tanaman dan hewan langka, di obyek wisata ini juga terdapat sumber air panas alami dengan suhu air mencapai 100° Celcius. Sangat berbahaya tentunya jika sampai terkena kulit manusia karena bisa menyebabkan luka bakar, sementara telur mentah yang dicelupkan ke sumber air itu hanya memerlukan waktu 10 menit untuk bisa matang.

Lokasi Taman wisata Rimbo Panti ini tidak terlalu jauh, yaitu sekitar 180 km dari ibukota Sumatera Barat, Kota Padang. Anda dapat menggunakan kendaraan pribadi/mobil rental atau kendaraan umum berupa oplet atau bus untuk bisa mencapai lokasinya.

Jika ingin menggunakan kendaraan umum dari kota Bukit Tinggi, Anda bisa naik oplet jurusan Lubuk Sikaping, kemudian Rimbo Panti, perjalanan ini kira-kira dapat ditempuh dalam waktu 3 jam.

Penunjukan Kawasan Cagar Alam Rimbo Panti (register 75) seluas 3.120 ha berdasarkan Gubernur Hindia Belanda) No. 34 Staablat 420 tanggal 8 Juni 1932, selanjutnya berdasarkan surat Keputusan Menteri Pertanian No.284/Kpts/Um/6/1979 tanggal 1 Juni 1979, sebagian areal kawasan ini dijadikan kawasan taman wisata alam seluas 570 ha. Jadi sejak tahun 1979 kawasan Cagar Alam Rimbo Panti menjadi seluas 2.550 ha.

Pada tahun 1992/1993 telah dilakukan pemancangan batas Cagar alam Rimbo Panti sepanjang 36 km yang terdiri dari batas luar sepanjang 21,6 km dan batas fungsi hutan lindung sepanjang 14,4 km dan batas fungsi dengan taman wisata 11,2 km.

Sayangnya TWA Rimbo Panti ini belum dikelola secara profesional. Taman wisata yang memiliki tiga objek utama yaitu sumber mata air panas, kolam pemandian air panas, dan gedung herbarium ini masih memerlukan perbaikan pengelolaan dari berbagai sisi. Bahkan saat ini TWA Rimbo Panti mengalami gangguan terhadap kawasan antara lain pengambilan kayu bakar, penebangan liar, dan pembuangan sampah sembarangan ke dalam kawasan.

Informasi di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pasaman, di Lubuk Sikaping, menyebutkan luas hutan lindung Rimbo Panti dalam sepuluh tahun terakhir menyusut drastis hingga 40 persen. Menurut data, luas cagar alam Rimbo Panti berdasarkan SK 34 SRBI No 420 tanggal 8 Juni 1932 mencapai 2.550 hektare ditambah Taman Wisata Rimbo Panti seluas 570 hektare. Seiring penebangan liar untuk perladangan terutama di kawasan Timur Rimba Panti yang berbatasan dengan areal persawahan rakyat mengakibatkan luas hutan lindung itu terus menyusut.

Hasil analisis terhadap pengelolaan TWA Rimbo Panti menunjukkan bahwa aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan yang dilakukan di TWA Rimbo Panti secara umum sudah dilaksanakan tapi masih kurang dari segi monitoring dan evaluasi. Kendala pengelolaan TWA Rimbo Panti secara umum adalah belum adanya pembagian kerja yang jelas dalam kerjasama yang dilakukan BKSDA Sumatera Barat dengan Pemerintah Kabupaten Pasaman.

Keberadaan TWA Rimbo Panti perlu sentuhan tangan profesional. Jika tidak, wisata alam di Pasaman ini akan terkesan tidak terurus, dan kelamaan terancam punah. Pemerintah Kabupaten Pasaman sebenarnya bisa mengacu pada Kebun Raya Bogor yang mampu menjual hutan sebagai objek yang memiliki nilai jual.

Alam Pasaman sebenarnya memiliki nilai jual. Tapi sentuhan profesional menjadi tantangan yang tak pernah terjawab hingga saat ini. Boleh saja hutan dikemukakan, tapi keberadaan hutan harus diseimbangkan dengan permintaan wisatawan. Kesan seram dan angker yang selama ini melekat di TWA Rimbo Panti pelan-pelan bisa disingkirkan dengan beberapa fasilitas penting yang ada di situ.













































Kamis, 26 Februari 2015

Kampung Kedua

Oktober 2010 merupakan sejarah baru dalam hidupku. Ku katakan sejarah baru, karena pada bulan itulah aku akan memasuki gerbang kehidupan baru, meninggalkan kehidupan lama yang sudah ku geluti selama 20 tahun. Yah, selama 20 tahun itu aku berprofesi sebagai jurnalis. Dari pagi sampai dinihari ku habiskan waktu di pemberitaan. Dan, pada Oktober 2010 semua aktivitas aku itu berakhir. Aku terkena PHK (pemutusan hubungan kerja).

"Yah, cukup sudah aku bekerja sebagai jurnalis. Kini saatnya aku mencoba kehidupan baru," gumamku dalam hati saat menerima pesangon dari manajemen kantor tempat aku bekerja.

Dan sejak aku terkena PHK, aku tidak berusaha sedikitpun untuk mencari pekerjaan baru. Waktu yang sangat luang itu aku manfaatkan untuk memulihkan tenaga, pikiran, serta semangat, yang selama ini telah terkuras habis. Syukurnya, istriku seakan memberi peluang bagi untuk berpikir jernih dalam mencari pekerjaan baru.

Akhirnya aku memutuskan untuk refreshing ke luar kota. Kebetulan saat itu emak ku (sekarang sudah almarhumah) hendak berkunjung ke rumah dua adikku di kota Lubuk Sikaping, Pasaman, Sumatera Barat.

"Ti, abang ikut emak ya ke Lubuk Sikaping. Sekalian mau jumpa Atun dan Abi (nama kedua adikku)," ujar ku kepada istriku, Ramayanti. Janjiku sama istri hanya seminggu di Lubuk Sikaping.

Akhirnya, berangkatlah aku bersama emak ke Lubuk Sikaping dengan menggunakan transportasi bus, dengan masa tempuh perjalanan lebih kurang 17 jam.

***

Seminggu lebih sudah aku tinggal di rumah adikku, Atun. Dan selama itu pula tak ada aktivitas lain yang ku kerjakan selain selain berkunjung ke rumah adikku yang lain, Abi. Namun tiba-tiba emak menyarankan aku untuk melihat pasar.

"Mi, coba main-main ke pasar. Mana tau di sana ada peluang usaha," kata emak kepadaku. Ya, aku memahami kegusaran hati emak yang melihat diriku sudah tidak punya kerjaan lagi.
"Ya mak, nanti Ami main-main ke pasar," jawabku.

Akupun akhirnya mengikuti saran emak. Dua pasar tradisional yang ada di Lubuk Sikaping aku kunjungi. Dan dari survey kecil-kecilan itu akhirnya aku memutuskan untuk berdagang. Kepada adik aku sampaikan niatku itu, dan alhamdulillah kedua adikku mendukung rencana itu. Mereka pun memberiku sedikit modal usaha. Jadilah aku berdagang jilbab. Kebetulan waktu di kota Medan, aku juga berdagang.

Tak terasa tiga tahun aku berjuang di Lubuk Sikaping. Tak hanya berdagang, pekerjaan lain yang selama ini tak pernah ku kerjakan di Medan aku laksanakan di ranah Pasaman. Mulai dari karyawan pasar malam sampai menggali sumur pun aku kerjakan. Semua demi memenuhi kebutuhan istri dan anak-anakku, yang saat itu masih berdomisili di kota Medan. Namun, Allah belum membukakan pintu sukses bagiku. Polemik rumahtangga sempat mencuat karena aku belum bisa memenuhi kebutuhan finansial untuk istri serta ketiga anakku.

Menyesalkah aku yang telah memutuskan untuk 'hijrah' ke Lubuk Sikaping? Sampai detik ini tak pernah sedikitpun muncul kata penyesalan dalam diriku. Kendati bumi Pasaman belum menawarkan kesuksesan dalam kehidupan ku, namun aku sudah terlanjur jatuh cinta. Rasanya seperti ada magnet yang menarik kakiku untuk tidak beranjak dari kota kecil Lubuk Sikaping. Walaupun saat ini aku berada di Pulau Jawa, tapi itu hanya sekadar menunaikan tugas. Hati ku tetap terpaut dengan Lubuk Sikaping. Bahkan istriku sudah berencana untuk menjadikan Lubuk Sikaping sebagai tempat menghabiskan hari tua kami.
***

Selama lebih kurang tiga tahun berada di Lubuk Sikaping, banyak pengalaman yang ku alami. Baik suka maupun duka. Dan aku pun banyak memiliki teman baru di sana. Namun, dari sekian banyak pengalaman yang ku rasakan, ada satu hal yang sulit aku melupakan dan meninggalkannya begitu saja. Yakni keindahan alam Pasaman.


Bagiku, alam Pasaman sangat mempesona. Udaranya sejuk dan bersih. Hutan-hutannya masih perawan. Hampir seluruh wilayah Pasaman sudah aku kunjungi. Semuanya menawarkan pesona yang sulit untuk dikatakan, apalagi dilupakan. Karena pesona alaminya itulah aku mendaulat ranah Pasaman sebagai kampung kedua ku. Tanah kelahiranku sebenarnya adalah kota Medan.

Sayangnya, keindahan alam ranah Pasaman itu belum dikelola secara profesional. Beragam pesona yang ditawarkan baru bisa dinikmati oleh penduduk Pasaman sendiri. Belum tereksploitasi. Padahal apa yang tidak dimiliki oleh Pasaman.

Pasaman termasuk daerah yang kaya. Buminya banyak menyimpan 'harta karun'. Keindahan alamnya selalu membuat mata sulit terpejam. Pasaman termasuk daerah kaum pejuang. Pada zaman perjuangan dulu, Pasaman merupakan pusat pergerakan Tuanku Imam Bonjol dalam memerangi kaum penjajah. Selain Tuanku Imam Bonjol, ada beberapa tokoh pejuang lainnya yang lahir di bumi Pasaman.

Disamping itu, salahsatu kecamatan di Pasaman yakni Bonjol, merupakan daerah lintasan garis khatulistiwa. Tapi kenapa Pasaman belum bisa menjadi destinasi wisata? Pertanyaan inilah yang terus menggelayuti pikiran saya sampai kini.

Padahal kalau Pemerintah Kabupaten Pasaman yang sekarang dipimpin Bupati Benny Utama mau berbuat, banyak hal yang bisa dilakukan. Dari beberapa 'kunjungan' yang saya lakukan selama berdagang dan menjadi karyawan pasar malam, banyak objek wisata yang bisa dikelola dan menghasilkan devisa bagi pemerintah kabupaten. Seperti kawasan Rimbo Panti yang memiliki pusat air panas. Memang tempat pemandian air panas Rimbo Panti sudah dikelola dan dijadikan objek wisata. Namun belumlah dikelola secara profesional dan hanya dinikmati sebatas penduduk lokal.

Di Kecamatan Bonjol ada Museum Imam Bonjol yang berdiri satu lokasi dengan Tugu Equator. Di daerah Lubuk Layang, terdapat sebuah prasasti. Sementara di Dusun Tanjung Medan, Kecamatan Panti, terdapat sebuah candi yang menurut perkiraan adalah peninggalan Hindu atau Budha. Di Kecamatan Mapat Tunggul terdapat Bukit Teletabis. Masih banyak lagi sebenarnya potensi-potensi wisata yang bisa dikembangkan, seperti Puncak Rao.

Semua potensi wisata itu bisa dikembangkan. Salahsatu cara adalah menggandeng pihak swasta dalam pengelolaannya. Disamping itu, Pemerintah Kabupaten Pasaman dalam hal ini Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga harus berani mempromosikan beragam keindahan alam Pasaman. Apakah dengan cara menyebarluaskan booklet/brosur, promo lewat media cetak atau elektronik, atau melakukan expo.

Keindahan Pegunungan Bukit Barisan yang turut memagari alam Pasaman dapat dijadikan destinasi wisata, seperti dengan mengembangkan wisata adventure. Aliran sungainya yang bersih dan deras juga bisa dijadikan wisata petualangan. Keanekaragaman hasil bumi dapat diolah menjadi wisata kuliner. Adat yang kental dan beragam kesenian daerah yang dimiliki bisa dikreasikan menjadi wisata budaya.

Selama dua tahun terakhir dalam kegiatan balap sepeda internasional 'Tour de Singkarak', Kabupaten Pasaman dijadikan salahsatu etape. Ini sebenarnya peluang emas bagi pemerintah kabupaten untuk mempromosikan keindahan alam Pasaman. Jangan jadikan peluang berharga itu terbuang percuma.

Yah, inilah sekelumit pandangan saya terhadap kampung kedua ku, ranah Pasaman. Keindahan alamnya yang sungguh mempesona sebenarnya dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah bagi masyarakat dan pemerintah kabupaten. Sekarang tinggal kemauan masyarakat, khususnya Pemerintah Kabupaten Pasaman, untuk mengangkat derajat bumi yang indah dan kaya raya ini. Saya tak rela Pasaman dipandang sebelah mata oleh daerah-daerah lain. Karena bagi saya, keindahan alam Pasaman sama dengan keindahan yang dimiliki daerah lain.***